KONSEP HARGA DALAM EKONOMI ISLAM
MAKALAH INDIVIDU
ILMU EKONOMI MIKRO ISLAM
Tentang :
KONSEP HARGA DALAM EKONOMI ISLAM
Disusun Oleh :
ALDI PUTRA
1730403005
Dosen Pembimbing :
DR. H. SYUKRI ISKA, M. AG
IFELDA NINGSIH, SEI., MA
JURUSAN AKUNTANSI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Harga suatu barang
adalah tingkat pertukaran barang itu dengan barang lain. Sebagaimana salah satu
tugas pokok ekonomi adalah menjelaskan alasan barang-barang mempunyai harga
erta alasan barang mempunyai harga yang mahal dan murah. Ahli ekonomi telah
menyusun teori harga umum yang dapat dipakai untuk menganalisis semua problem
yang menyangkut harga barang konsumsi, tingkat rupiah, tingkat devisa, harga
pasar modal, dan ebagainya yang menggambarkan prinsip umum penentuan harga.
Harga terbentuk dari kompetensi produk untuk memenuhi tujuan dua pihak yaitu
produsen dan konsumen.
Mekanisme
penentuan harga dalam islam sesuai dengan Maqashid Al-Syariah, yaitu
merealisasikan kemaslahatan dan menghindari kerusakan diantara manusia.
Seandainya Rasulullah pada saat itu langsung menetapkan harga maka akan
kontradiktif dengan mekanisme pasar. Akan tetapi pada situasi tertentu dengan
dalih Maqashid Al-Syariah penentuan harga menjadi suatu keharusan dengan alasan
menegakkan kemaslahatan manusia dengn memerangi ditorsi pasar (memerangi
mafsadah atau kerusakan yang terjadi dilapangan).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian harga dalam ekonomi islam ?
2.
Seperti apa konsep harga yang adil ?
3.
Seperti apa kebijakan intervensi pemerintah dalam harga ?
4.
Bagaimana bentuk persaingan harga di pasar ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Harga dalam Ekonomi Islam
Harga adalah suatu
nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan dalam satuan
moneter. Harga merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu perusahaan
karena harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh
perusahaan dari penjualan produknya yang berupa barang maupun jasa. Dalam fiqh
islam dikenal 2 istilah berbea mengenai harga suatu barang yaitu As-Si’ir dan
As-Saman. As-Si’ir adalah harga yang berlaku secara aktual dalam pasar.
Sedangkan As-Saman adalah patokan harga suatu barang.
Firman Allah dalam
QS. An-Nisa’ ayat 29 yaitu yang artinya :
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”[1]
Harga suatu barang
adalah tingkat pertukaran barang itu dengan barang lain. Sebagaimana salah satu
tugas pokok ekonomi adalah menjelaskan alasan barang-barang mempunyai harga
erta alasan barang mempunyai harga yang mahal dan murah. Sebagai contoh, gaji
dan upah adalah harga jasa bagi seseorang yang bekerja. Bunga adalh harga
meminjam atau menggunakan uang di bank. Pajak adalah harga jasa pemerintah bagi
warga negaranya. Bentuk atau sebutan harga lain adalah uang sewa, tiket, tol,
honorarium, SPP, dan sebagainya.
Ahli ekonomi telah
menyusun teori harga umum yang dapat dipakai untuk menganalisis semua problem
yang menyangkut harga barang konsumsi, tingkat rupiah, tingkat devisa, harga
pasar modal, dan ebagainya yang menggambarkan prinsip umum penentuan harga.
Harga terbentuk dari kompetensi produk untuk memenuhi tujuan dua pihak yaitu
produsen dan konsumen. Produsen memandang harga sebagai nilai barang yang mampu
memberikan manfaat keuntungan diatas biaya
produksinya. Konsumen memandang harga sebagai nilai barang yag
mampu memberikan manfaat atas pemenuhan kebutuhan dan keinginannya.[2]
B.
Konsep Harga yang Adil
Setelah Rasulullah
SAW hijrah ke Madinah, maka beliau menjadi pengawas pasar (muhtasib). Pada saat
itu mekanisme pasar sangat dihargai. Salah satu buktinya yaitu Rasulullah SAW
menolak untuk menetapkan kebijakan dalam penetapan harga, pada saat itu harga
sedang naik karena permintaan dan penawaran yang dialami. Nabi tidak menetapkan
harga jual dengan alasan bahwa dengan menetapkan harga akan mengakibatkan
kezaliman, sedangkan zalim adalah haram.
Firman Allah dalam
QS. Al-Furqan ayat 20 yaitu :
Artinya : “Dan
kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan
makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan
bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha
Melihat."
Jika harga yang
ditetapkan terlalu mahal, maka akan menzalimi pembeli dan jka harga yang
ditetapkan terlalu rendah maka akan menzalimi penjual. Imam Hambali dan Imam
Syafi’i melarang menetapkan harga karena akan menyusahkan masyarakat, sedangkan
Imam Maliki dan Hanafi memperbolehkan penetapan harga untuk barang-barang
sekunder.
Mekanisme penentuan harga dalam islam sesuai dengan Maqashid
Al-Syariah, yaitu merealisasikan kemaslahatan dan menghindari kerusakan
diantara manusia. Seandainya Rasulullah pada saat itu langsung menetapkan harga
maka akan kontradiktif dengan mekanisme pasar. Akan tetapi pada situasi
tertentu dengan dalih Maqashid Al-Syariah penentuan harga menjadi suatu
keharusan dengan alasan menegakkan kemaslahatan manusia dengn memerangi ditorsi
pasar (memerangi mafsadah atau kerusakan yang terjadi dilapangan).
Dalam konsep islam
yang paling prinsip adalah harga ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan
penawaran. Keseimbangan ini terjadi apabila antara penjual dan pembeli bersikap
saling merelakan. Kerelaan ini ditentukan oleh penjual dan pembeli dalam
mempertahankan barang tersebut. Jadi, harga ditentukan oleh kemampuan penjual
untuk menyediakan barang yang ditawarkan kepada pembeli, dan kemampuan pembeli
untuk mendapatkan barang tersebut dari penjual.
Akan tetapi
apabila para pedagang sudah menaikkan harga diatas batas kewajaran, mereka itu
telah berbuat zalim dan sangat membahayakan umat manusia, maka seorang penguasa
(pemerintah) harus campur tangan dalam masalah tersebut dan harus mengambil
kebijakan dengan menetapkan harga standar. Dengan maksud untuk melindungi hak
milik orang lain, mencegah terjadinya penimbunan barang, dan mencegah
terjadinya kecurangan para pedagang. Inilah yang pernah dilakukan oleh Khalifah
Umar Bin Khattab.
Firman Allah dalam
QS. Al-Furqan ayat 7 yaitu :
Artinya : “Dan mereka berkata:
"Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa
tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan
peringatan bersama- sama dengan dia?”[3]
Konsep penentuan
harga dalam isla adalah sebagai berikut :
1.
Ar-Ridha, yakni segala transsaksi yang dilakukan haruslah atas
dasar kerelaan antara masing-masing pihak (freedom contract). Hal ini
sesuai dengan Firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 29 yaitu :
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
2.
Berdasarkan persaingan yang sehat.
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat
198 yaitu :
Artinya
: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu Telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy'arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana
yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat.
3.
Kejujuran.
Firman Allah dalam QS. Al-Muthaffifin
ayat 1-3 yaitu :
Artinya :
1.
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang
yang curang.
2.
(yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi.
3.
Dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
4.
Keterbukaan.
Firman Allah dalam QS. Asy’Syu’araa ayat
183 yaitu :
w
Artinya : “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya
dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”[4]
C.
Kebijakan Intervensi Pemerintah dalam Harga
1.
Intervensi Pemerintah secara Langsung
a.
Penetapan Harga Minimum (Floor Price)
Harga minimum atau harga dasar merupakan batas seberapa rendah
harga dapat dikenakan pada suatu produk melalui kesepakatan bersama atau
ketentuan pemerintah. Penentuan harga minimum dilakukan ole pemerintah dengan
tujuan melindungi produsen, terutama untuk produk dasar pertanian. Kebijakan
harga dasar biasa digunakan pada saat ditemukan kapasitas produksi di pasar
terlalu sedikit sehingga kuantitas barang beredar di pasar lebih rendah dari
permintaan pasar. Hal ni dikarenakan terlalu rendahnya harga jual di pasar,
sehingga selisih harga produksi dengan harga jual pasar terlalu kecil.
Hal ini menyebabkan produsen takut untuk memperbanyak kapasitas
produksi dikarenakan harga jual yang rendah dan supplier cenderung menyimpan
barang dan merekan menunggu harga pasar pulih kembali. Oleh karena itu dalam
situasi seperti ini pemerintah biasanya menetapkan harga dasar. Harga dasar
yang ditetapkan akan berada diatas harga equilibrium pasar.
b.
Penetapan Harga Makimum (Ceiling price)
Harga maksimum merupakan perubahan tertinggi yang diperbolehkan
terhadap harga suatu barang yang telah ditetapkan dalam suatu kontrak dalam
suatu masa perdagangan sesuai dengan aturan perdagangan yang ada. Harga pasar
yang terkena harga maksimum tidak diperbolehkan untuk menaikkan harga diatas
harga maksimum yang telah ditetapkan.
Kebijakan harga maksimum biasanya dilakukan pada saat harga pasar
yng ada tidak mengalami kenaikan yang cenderung berarti dalam kurun waktu yang
singkat sedangkan suatu permintaan pasar terhadap produk meningkat. Hal ini
akan memicu produsen atau supplier untuk menaikkan harga. Dalam situasi seperti
ini kebijakan harga maksimum perlu diberlakukan untuk menjaga stabilitas harga
pasar supaya kenaikkan harga yang ditetapkan oleh produsen tidak terlalu tinggi
dan tidak membebani produen.
Penetapan harga maksimum atau Harga Enceran Tertinnggi (HET) yang
dilakukan pemerintah bertujuan untuk melindungi konsumen. Kebijakan HET
dilakukan oleh pemerintah jika harga pasar dianggap terlalu tinggi diluar batas
daya beli konsumen. Penjual tidak diperbolehkan menetapkan harga diatas harga
maksimum tersebut.
2.
Intervensi Pemerintah secara Tidak Langsung
a.
Penetapan Pajak
Kebijakan menetapkan pajak ini dilakukan oleh pemerintah dengan
cara mengenakan pajak yang berbeda-beda untuk berbagai komoditas. Misalnya
untuk melindungi produsen dalam negeri, pemerintah dapat meningkatkan tarif
pajak yang tinggi untuk barang impor. Hal tersebut menyebabkan konsumen membeli
produk dalam negeri yang harganya relatif lebih murah.
Pengaruh kebijakan penetapan pajak dalam pembentukan harga adalah
sebagai berikut :
-
Pajak yang dikenakan atas penjuaalan suatu barang menyebabkan harga
jual barang tersebut naik.
-
Setelah dikenakan pajak, produsen akan berusaha mengalihkan
sebagian beban pajak tersebut kepada konsumen, yaitu dengan menawarkan karga
jual yang lebih tinggi, artinya harga penawaran bertambah.
-
Dengan dikenakan pajak, harga keseimbangan yang tercipta di pasar
menjadi lebih tinggi dan jumlah keseimbangan rendah.
b.
Pemberian Subsidi
Subsidi biasanya diberikan pemerintah kepada perusahaan penghasil
barang kebutuhan pokok. Subsidi juga diberikan kepada perusahaan yang baru
berkembang untuk menekan biaya produksi supaya mampu bersaing terhadap
produk-produk impor. Kebijakan ini ditempuh pemerintah dalam upaya pengendalian
harga untuk melindungi produsen maupun konsumen sekaligus untuk menekan laju
inflasi.
Pengaruh kebijakan pemberian subsidi terhadap harga pasar adalah
sebagai berikut :
-
Subsidi yang diberikan atas produksi suatu barang menyebabkan harga
jual barang tersebut turun, karena biaya produksi menjadi lebih rendah.
-
Subsidi dapat dinikmati oleh produsen dan konsumen, sebab dengan biaya
produksi lebih rendah maka harga beli konsumen juga lebih murah, artinya harga
penawaran berkurang.
-
Dengan pemberian harga subsidi harga keseimbangan yang tercipta
dipasar menjadi lebih rendah dan jumlah keseimbangan menjadi tinggi.[5]
D.
Persaingan Harga di Pasar
1.
Pasar Persaingan Sempurna
Dalam pasar persaingan sempurna, secara
teoritis penjual tidak dapat menetukan harga atau price taker. Dimana
penjual akan menjual barangnya sesuai harga yang berlaku di pasar. Dalam
kenyataannya, pasar bersaing sempurna juga memiliki derajat yang berbeda-beda.
Derajat yang paling ekstrem memang penjual tidak akan menentukan harga sama
sekali. Derajat akan semakin mendekati keekstreman apabila mendekati hal-hal
ini terpenuhi :
a.
Ada banyak penjual.
b.
Pembeli memandang barang sama saja (homogen dan tidak
terdirensiasi).
c.
Ada kelebihan kapasitas produksi.
Semakin banyak penjual berarti semakin
banyak pilihan pembeli, penjual yang harganya lebih tinggi tentu akan
ditinggalkan pembeli. Hal inilah yang mendorong penjual untuk mengkuti saja
harga yang berlaku di pasar (price taker).
2.
Pasar Bersaing Monopolistk
Karakteristik pasar bersaing
monopolistik yaitu :
a.
Ada banyak penjual.
b.
Setiap penjual menjual produk yang terdifirensiasi.S
3.
Ihtikar (Monpoli)
Iktikar adalah mengambil keuntungan
diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga
yang lebih tinggi (monopily’s rent). Suatu kegiatan masuk dalam kategori
ikhtikar apabila :
a.
Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock
atau mengenakan entry barriers.
b.
Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga
sebelum munculnya kelangkaan.
c.
Mengambil keuntungan lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum
komponen a dan b dilakukan.
4.
Oligopoli
Secara harfiah oligopoli berarti ada
beberapa penjual di pasar. Boleh dikatakan oligopoli merupakan pertengahan dari
monopoly dan monopolystic competition. Suatu ologopoli adalah
industri yang terdiri dari atas dua atau beberapa perusahaan.[6]
[1] Setiawan Budi
Utomo, Fiqh Aktual. (Jakarta: Gema Insani, 2008). Hlm: 90
[2]Adiwarman
Karim, Ekonomi Islam (Suatu Kajian Kontemporer), (Jakarta: Gema Insani,
2001). Hlm: 164
[3]Asmuni Solihan
Zamakshsyari, Fiqih Ekonomi Umar Bin Khattab (Terjemahan), (Jakarta:
Khalifah, 2006). Hlm: 612-613
[4]Adiwarman
Karim, Ekonomi Islam (Suatu Kajian Kontemporer), (Jakarta: Gema Insani,
2001). Hlm: 173
[5]Boediono, Ekonomi
Mikro, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1996). Hlm: 125-127
Komentar
Posting Komentar