Teori Ketenagakerjaan dan upah
MAKALAH INDIVIDU
ILMU EKONOMI MIKRO ISLAM
Tentang :
TEORI KETENAGAKERJAAN DAN UPAH
Disusun Oleh :
ALDI PUTRA
1730403005
Dosen Pembimbing :
DR. H. SYUKRI ISKA, M. AG
IFELDA NINGSIH, SEI., MA
JURUSAN EKONOMI SYARIAH KONSENTRASI MANAJEMEN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bekerja bagi seorang muslim adalah
suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan
dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba
Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari
masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan kata lain dapat juga
kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Kerja adalah suatu cara untuk
memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial.
Dengan pekerjaan manusia akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang
meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan
kebutuhan ego. Selain itu kepuasan seseorang terhadap pekerjaan juga diperoleh
melalui berbagai bentuk kepuasan yang dapat dinikmati diluar kerja, misalnya
kepuasan sewaktu bekerja, menikmati liburan, dan yang lebih mendasar lagi dapat
menghidupi diri dan keluarga.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana nilai kerja dalam pandangan islam ?
2.
Seperti apa penentuan ujrah yang adil dan manusiawi ?
3.
Apa perbedaan penentuan ujrah dalam ekonomi islam dan ekonomi
konvensional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Nilai
Kerja dalam Pandangan Islam
Bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya
yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan dzikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik (khairu ummah) atau dengan kata lain dapat juga kita katakan
bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Kerja adalah suatu cara untuk
memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial.
Dengan pekerjaan manusia akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang
meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan
kebutuhan ego. Selain itu kepuasan seseorang terhadap pekerjaan juga diperoleh
melalui berbagai bentuk kepuasan yang dapat dinikmati diluar kerja, misalnya
kepuasan sewaktu bekerja, menikmati liburan, dan yang lebih mendasar lagi dapat
menghidupi diri dan keluarga.
Selain itu, kerja adalah aktivitas
yang mendapat dukungan sosial dan individu itu sendiri. Dukungan sosial itu
dapat berupa penghargaan masyarakat terhadap aktivitas kerja yang ditekuni.
Sedangkan dukungan individu dapat berupa kebutuhan-kebutuhan yang
melatarbelakangi aktivitas kerja. Seperti kebutuhan untuk aktif, untuk
berproduksi, berkreasi, untuk memperoleh pengakuan dari orang lain, memperoleh
prestise serta kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Bekerja merupakan kegiatan pokok
dari suatu aktivitas kemanusiaan yang dapat dibagi menjadi sejumlah dimensi
yaitu :
1.
Dimensi
Fisiologis
Dimensi
Fisiologi adalah dimensi yang memandang bahwa manusia bukanlah mesin. Manusia
dalam bekerja tidak dapat disamakan dengan mesin.
2.
Dimensi
Psikologis
Dimensi
Psikologis merupakan suatu dimensi dimana kerja disamping merupakan beban, juga
merupakan suatu kebutuhan. Dengan demikian bekerja juga merupakan upaya
pengembangan kepribadian.
3.
Dimensi Ikatan
Sosial dan Kelompok
Pekerjaan
dapat menjadi pengikat sosial dan kelompok karena pekerjaan akan dapat menjadi
cara seseorang untuk memasuki suatu ikatan kelompok tertentu. Dengan
pekerjaannya seseorang dapat menyatakan tentang bagaimana status yang
dimilikinya.
4.
Dimensi Ekonomi
Dimensi
ekonomi mengandung pengertian bahwa pekerjaan merupakan sumber mata pencaharian
bagi seseorang. Pekerjaan dapat menjadi sumber kegiatan ekonomi untuk masa
sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Dengan adanya sumber penghasilan
inilah seseorang dapat hidup secara mandiri dan menghidupi keluarganya.
5.
Dimensi
Kekuasaan,
Dimensi
kekuasaan dalam bekerja selalu ada, terutama jika seseorang bekerja dalam suatu
organisasi kerja. Bagaimanapun setiap pekerjaan dalam ruang lingkup suatu
organisasi kerja selalu ada wewenang pribadi. Dalam organisasi kerja, pekerjaan
harus di susun sedemikian rupa, sehingga ada jadwal, jelas pendelegasian
wewenangnya. Semua ini menyangkut masalah kekuasaan.
6.
Dimensi
Kekuasaan Ekonomi
Dimensi
kekuasaan ekonomi menerapkan bahwa setiap orang dalam pekerjaan akan memberikan
sumbangan berdasarkan pada apa yang sudah mereka lakukan.
Secara hakiki bekerja seorang muslim
merupakan ibadah bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan
memenuhi panggilan Ilahi agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar
bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos yang
terbaik.
Karena kebudayaan kerja Islami
bertumpu pada akhlaqul karimah umat Islam akan menjadikan akhlak
sebagai energi batin yang terus menyala dan mendorong setiap langkah
kehidupannya dalam koridor jalan yang lurus. Semangat dirinya adalah minallah, fisabilillah, Illah (dari Allah, dijalan Allah, dan
untuk Allah).
Nilai kerja dalam islam ada empat
prinsip yaitu :
1. Kemerdekaan
Manusia.
Ajaran Islam yang direpresentasikan dengan aktivitas kesalehan
sosial Rasulullah yang
dengan tegas mendeklarasikan sikap antiperbudakan untuk membangun tata
kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan. Islam tidak
mentolerir sistem perbudakan dengan alasan apa pun. Terlebih lagi adanya
praktik jual-beli pekerja dan pengabaian hak-haknya yang sangat tidak
menghargai nilai kemanusiaan.
mentolerir sistem perbudakan dengan alasan apa pun. Terlebih lagi adanya
praktik jual-beli pekerja dan pengabaian hak-haknya yang sangat tidak
menghargai nilai kemanusiaan.
Penghapusan perbudakan menyiratkan pesan
bahwa pada hakikatnya manusia ialah makhluk merdeka dan berhak menentukan
kehidupannya sendiri tanpa kendali orang lain. Penghormatan atas manusia, baik sebagai pekerja maupun
berpredikat apa
pun, menunjukkan bahwa ajaran Islam mengutuk keras praktik jual-beli tenaga kerja
pun, menunjukkan bahwa ajaran Islam mengutuk keras praktik jual-beli tenaga kerja
2.
Kemuliaan
Derajat Manusia.
Islam
menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia
dan terhormat. Hal itu disebabkan Islam sangat mencintai umat
Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya.
Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya.
3.
Keadilan
dan Anti-Diskriminasi.
Islam
tidak mengenal sistem kelas atau kasta di masyarakat, begitu juga
berlaku dalam memandang dunia ketenagakerjaan. Dalam sistem perbudakan,
seorang pekerja atau budak dipandang sebagai kelas kedua di bawah
majikannya. Hal ini dilawan oleh Islam karena ajaran Islam menjamin
setiap orang yang bekerja memiliki hak yang setara dengan orang lain,
termasuk atasan atau pimpinannya. Bahkan hingga hal-hal kecil dan
sepele, Islam mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang yang
bekerja.
berlaku dalam memandang dunia ketenagakerjaan. Dalam sistem perbudakan,
seorang pekerja atau budak dipandang sebagai kelas kedua di bawah
majikannya. Hal ini dilawan oleh Islam karena ajaran Islam menjamin
setiap orang yang bekerja memiliki hak yang setara dengan orang lain,
termasuk atasan atau pimpinannya. Bahkan hingga hal-hal kecil dan
sepele, Islam mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang yang
bekerja.
Misalnya
dalam hal pemanggilan atau penyebutan, Islam melarang manusia memanggil
pekerjanya dengan panggilan yang tidak baik atau merendahkan. Sebaliknya, Islam
menganjurkan pemanggilan kepada orang yang bekerja dengan kata-kata yang baik
seperti “Wahai pemudaku” untuk laki-laki atau “Wahai pemudiku” untuk perempuan.
4.
Kelayakan
Upah Pekerja.
Upah
atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi
kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang
mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam
memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa
prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.
kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang
mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam
memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa
prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.
Seorang
pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan
tugas-tugasnya, maka jika terjadi penunggakan gaji pekerja, hal tersebut selain melanggar kontrak kerja juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Selain ketepatan pengupahan, keadilan juga dilihat dari proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah upah yang diterimanya.[1]
tugas-tugasnya, maka jika terjadi penunggakan gaji pekerja, hal tersebut selain melanggar kontrak kerja juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Selain ketepatan pengupahan, keadilan juga dilihat dari proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah upah yang diterimanya.[1]
B.
Penentuan
Ujrah yang Adil dan Manusiawi
Menetapkan
setandar upah yang adil bagi seorang pekerja sesuai dengan kehendak syari’ah
bukanlah perkara yang mudah. Kesulitan penetapan upah ini pernah terjadi dalam
penetapan upah Khalifah Abu Bakr al Shiddiq. Umar bin Khattab bersama sahabat
lain menetapkan gaji Abu Bakr dengan setandar yang mencukupi kehidupan seorang
muslim golongan menengah. Penetapan gaji ini masih samar sehingga Abu Bakr
meminta ukuran penghasilan pedagang, yaitu 12 dirham perhari. Standar Abu Bakr
ini adalah kerja yang memungkinkan seseorang mendapatkan penghasilan.
Penghasilan harian atau bulanan
seseorang secara umum dalam masyarakat dalam bekerja menjadi standar pengupahan
secara pantas. Kerja adalah segala usaha dan ikhtiar yang dilakukan anggota
badan atau pikiran untuk mendapatkan imbalan yang pantas. Termasuk semua jeni
kerja yang dilkaukan fisik maupun pikiran. Tenaga kerja sebagai salah satu
faktor produksi mempunyai arti yang besar karena semua kekayaan alam tidak
berguna bila tidak dioekloiasi oleh manusia dan diolah oleh pekerja.
Fenomena ketenagakerjaan ini
merupakan sunatullah yang logis. Setiap orang mencari dan bekerja dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kaitannya dengan bisnis, terjadilah hubungan
simbiosis mutualisme antara pengusaha dan pekerja.
Upah dapat diklasifikasikan menjadi
2 yaitu :
1.
Upah
yang telah disebut pada satu akad yang dikenal dengan Ajr Al-Musamma
Ajr
Al-Musamma ketika disebutkan haris diiringi dengan kerelaan kedua belah pihak
yang berakad. Dalam kondisi ini, pihak majikan (musta’jir) tidak boleh dipaksa
untuk membayar upah lebih besar dari apa yang telah disebutkan dan pihak
pekerja (ajir) juga tidak dipaksa menerima upah yang lebih kecil daripada yang
telah disebutkan.
2.
Upah
yang sepadan atau Ajr Al-Mitsli
Adapun
Ajr Al Mitsli adalah upah yang sepadan dengan kerja maupun pekerjaan sekaligus
jika akad ijarahnya menyebutkan jasa kerjanya. Upah sepadan adalah dengan pekerjaannya
saja jika akad ijarahnya menyebutkan jasa pekerjanya.[2]
C.
Perbedaan
Penentuan Ujrah dalam Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional
1. Upah
dalam islam tidak hanya sebatas materi tetapi menembus batas kehidupan yakni
berdimensi akhirat.
2. Islam melihatupahsangatbesarkaitannyadengankonsep
moral sementarabarattidak.
3. Adanya keterkaitan antara upah dan moral,
sementara konvensional tidak.[3]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kerja adalah aktivitas yang mendapat
dukungan sosial dan individu itu sendiri. Dukungan sosial itu dapat berupa
penghargaan masyarakat terhadap aktivitas kerja yang ditekuni. Sedangkan
dukungan individu dapat berupa kebutuhan-kebutuhan yang melatarbelakangi
aktivitas kerja. Seperti kebutuhan untuk aktif, untuk berproduksi, berkreasi,
untuk memperoleh pengakuan dari orang lain, memperoleh prestise serta
kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Upah
atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi
kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang
mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam
memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa
prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.
kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang
mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam
memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa
prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman, Karim A, 2012. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta:
Rajawali Press.
Muhammad, ChaudrySharif, 2012. SistemEkonomi Islam
PrinsipDasar. Jakarta:KencanaPrenada
Media Group.
Mustafa, Nasution Edwin, 2010. PengenalanEksklusifEkonomi Islam.Jakarta:Kencana.
Komentar
Posting Komentar